Kesehatan Mental

Studi Harvard Menunjukkan Detoks Media Sosial Baik Kesehatan Mental

Studi Harvard Menunjukkan Detoks Media Sosial Baik Kesehatan Mental
Studi Harvard Menunjukkan Detoks Media Sosial Baik Kesehatan Mental

JAKARTA - Istirahat sejenak dari media sosial kini tak lagi sekadar saran populer, melainkan mulai mendapat penguatan ilmiah. 

Di tengah meningkatnya kekhawatiran soal dampak layar digital terhadap kesejahteraan psikologis, terutama pada generasi muda, riset terbaru menunjukkan bahwa detoks media sosial dapat membawa perubahan positif bagi kesehatan mental. 

Isu ini semakin relevan ketika sejumlah negara dan wilayah mulai membatasi penggunaan gawai dan platform digital di kalangan anak serta remaja.

Perdebatan tentang media sosial memang kian mengemuka. Australia telah mengambil langkah tegas dengan melarang penggunaan media sosial bagi anak di bawah usia tertentu. 

Di Amerika Serikat, Massachusetts dan beberapa negara bagian lain juga mendorong kebijakan pembatasan ponsel di sekolah. Di tengah kebijakan tersebut, sebuah studi dari Harvard memberikan gambaran baru tentang bagaimana jeda singkat dari media sosial memengaruhi kondisi psikologis penggunanya.

Penelitian yang diterbitkan di JAMA Network Open ini menyoroti pengalaman orang dewasa muda yang mengikuti program detoks media sosial selama satu minggu. Hasilnya, terjadi perbaikan signifikan pada sejumlah indikator kesehatan mental, termasuk kecemasan, depresi, dan gangguan tidur. Meski demikian, peneliti menekankan bahwa temuan ini baru tahap awal dari riset jangka panjang yang lebih luas.

Temuan Penelitian tentang Detoks Media Sosial

Dalam studi tersebut, para partisipan menjalani pemantauan penggunaan ponsel selama dua minggu, kemudian diminta melakukan detoks media sosial selama satu minggu berikutnya. 

Selama masa detoks, para peneliti mencatat adanya penurunan gejala kecemasan sebesar 16,1 persen, depresi sebesar 24,8 persen, dan insomnia sebesar 14,5 persen. Angka-angka ini menunjukkan bahwa jeda singkat saja sudah dapat memberikan dampak yang terukur.

Penulis utama studi, John Torous, menjelaskan bahwa penelitian ini bukan hanya soal hasil akhir, tetapi juga pendekatan pengukuran yang digunakan. Selama ini, banyak riset kesehatan mental mengandalkan laporan diri, di mana responden diminta mengingat dan memperkirakan durasi penggunaan media sosial mereka.

Menurut Torous, metode tersebut memiliki keterbatasan karena manusia cenderung sulit mengukur kebiasaan hariannya secara akurat.

Melalui pendekatan baru, studi ini menggunakan data objektif langsung dari ponsel partisipan. Dengan cara ini, peneliti dapat melihat perubahan perilaku secara nyata, bukan sekadar berdasarkan persepsi. Hasilnya, gambaran tentang dampak detoks media sosial menjadi lebih jelas dan terukur.

Cara Peneliti Mengukur Dampak Penggunaan Layar

Salah satu temuan menarik dari penelitian ini adalah pola penggunaan media sosial sebelum dan selama detoks. Selama dua minggu awal, rata-rata partisipan menggunakan media sosial sekitar dua jam per hari. Saat memasuki masa detoks, waktu penggunaan tersebut turun drastis, dari sekitar 1,9 jam per minggu menjadi hanya 30 menit per minggu.

Namun, penurunan ini tidak serta-merta membuat total waktu layar ikut berkurang. Peneliti menemukan bahwa durasi penggunaan layar secara keseluruhan tetap relatif sama. Artinya, peserta hanya mengganti aktivitas di media sosial dengan aktivitas layar lainnya, seperti menonton video atau menggunakan aplikasi non-sosial.

Penelitian ini juga mengukur penggunaan pada lima platform media sosial yang berbeda. Dari data tersebut, Instagram dan Snapchat tercatat sebagai platform yang paling sulit dihindari selama masa detoks. Hal ini menunjukkan adanya tingkat keterikatan yang berbeda pada tiap aplikasi, yang bisa memengaruhi keberhasilan detoks bagi setiap individu.

Respons Beragam Peserta Selama Detoks

Tidak semua partisipan merasakan dampak yang sama selama menjalani detoks media sosial. Bagi sebagian orang yang sebelumnya mengalami gejala depresi cukup berat, jeda dari media sosial justru membuat mereka merasa jauh lebih baik. Mereka melaporkan suasana hati yang lebih stabil dan perasaan yang lebih tenang.

Namun, ada pula peserta yang tidak merasakan perubahan berarti. Bagi kelompok ini, detoks media sosial tidak membawa dampak signifikan, baik positif maupun negatif. Perbedaan respons ini menunjukkan bahwa hubungan antara media sosial dan kesehatan mental bersifat kompleks dan tidak bisa digeneralisasi.

Menariknya, sebagian partisipan memanfaatkan waktu luang selama detoks untuk beralih ke aktivitas fisik. Jumlah langkah harian mereka meningkat, dan mereka lebih sering beraktivitas di luar rumah. Perubahan gaya hidup ini diduga ikut berkontribusi pada perbaikan kondisi mental yang dialami sebagian peserta.

Implikasi bagi Kesehatan Mental ke Depan

Dari hasil penelitian ini, Torous menekankan pentingnya pendekatan yang lebih bernuansa dalam membahas media sosial dan kesehatan mental. Menurutnya, solusi tidak bisa disamaratakan untuk semua orang. Setiap individu memiliki kebutuhan, kebiasaan, dan kondisi psikologis yang berbeda.

Ia juga mengingatkan bahwa bagi sebagian orang, media sosial justru berperan sebagai sarana mengurangi rasa kesepian. Memutus akses secara total bisa menimbulkan risiko baru, terutama jika media sosial menjadi satu-satunya saluran koneksi sosial yang dimiliki seseorang. Karena itu, detoks media sosial perlu dilakukan secara bijak dan terukur.

Alih-alih menghapus media sosial sepenuhnya, pendekatan yang lebih realistis adalah belajar mengelolanya. 

Dengan bantuan data objektif dari ponsel, setiap orang dapat memahami pola penggunaan pribadinya dan menyesuaikan kebiasaan digital sesuai kebutuhan mental masing-masing. Studi ini menjadi pengingat bahwa keseimbangan, bukan larangan mutlak, bisa menjadi kunci menjaga kesehatan mental di era digital.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index