JAKARTA - Fenomena menarik kembali ramai diperbincangkan di media sosial.
Kali ini, perhatian publik tertuju pada unggahan seorang pengguna Instagram yang kaget saat mendapati harga kopi Americano di Wonogiri, Jawa Tengah, hanya Rp10.000 per cangkir.
Unggahan yang dibagikan oleh akun @b*o itu menulis,
“Orang asli dari Jakarta ke Wonogiri, kaget Americano cuma 10 ribu, pria ini sampai nangis: nggak tega jadinya, kasihan kapan mau kaya?”
Unggahan tersebut sontak memicu perbincangan luas. Banyak warganet membandingkan harga kopi di daerah dengan Jakarta yang bisa mencapai beberapa kali lipat lebih mahal.
Tak sedikit pula yang menyoroti bagaimana perbedaan gaya hidup, daya beli, dan biaya operasional turut memengaruhi harga minuman yang kini telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat urban itu.
Harga Kopi dan Ketimpangan Antarkota
Perbedaan harga antara Jakarta dan daerah seperti Wonogiri sebenarnya bukan hal baru. Sebagai contoh, di Jakarta, secangkir Americano di hotel bintang lima dapat dijual hingga Rp100.000, sedangkan di kafe lokal atau warung kopi sederhana harganya berkisar Rp25.000–Rp50.000.
Sebaliknya, di Wonogiri dan daerah serupa, harga kopi yang sama bisa hanya Rp10.000 perbedaan hingga sepuluh kali lipat. Fenomena inilah yang membuat banyak orang bertanya-tanya: apakah kualitas bahan atau rasanya benar-benar berbeda sejauh itu?
Menurut Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, perbedaan harga ini wajar terjadi karena ada sejumlah faktor yang memengaruhi struktur biaya dan kondisi ekonomi di tiap wilayah.
“Harga suatu produk berbeda dari satu tempat ke tempat lain dipengaruhi oleh struktur biaya, daya beli masyarakat, harga produk sejenis, dan faktor gaya hidup,” ujarnya.
Biaya Produksi dan Daya Beli Menentukan Harga
Wijayanto menjelaskan, biaya operasional di kota besar seperti Jakarta jauh lebih tinggi dibandingkan dengan daerah seperti Wonogiri.
“Jakarta pasti lebih mahal daripada Wonogiri untuk empat komponen utama, yaitu harga bahan mentah, gaji barista, sewa tempat, dan pajak,” katanya.
Sebagai contoh, harga sewa toko atau kafe di kawasan strategis Jakarta bisa mencapai puluhan juta rupiah per bulan, sementara di daerah, biayanya bisa hanya sepersepuluhnya. Begitu pula dengan gaji tenaga kerja, yang di Jakarta disesuaikan dengan upah minimum kota yang lebih tinggi.
Selain itu, daya beli masyarakat juga menjadi pertimbangan penting. Di Jakarta, konsumen cenderung memiliki kemampuan finansial lebih tinggi, sehingga harga kopi bisa dipatok dengan margin lebih besar.
“Penjual kopi di Jakarta akan menyesuaikan harga dengan kemampuan beli konsumen. Kalau terlalu mahal, tidak laku. Tapi kalau terlalu murah, dianggap tidak premium,” jelasnya.
Harga Tak Bisa Terlepas dari Kondisi Ekonomi Lokal
Menurut Wijayanto, setiap pelaku usaha di bidang makanan dan minuman harus mempertimbangkan kesetaraan harga produk sejenis. Jika harga kopi terlalu jauh di atas minuman lain seperti teh atau jus, produk tersebut bisa kehilangan peminat.
Karena itu, di daerah seperti Wonogiri, harga kopi yang lebih murah justru mencerminkan penyesuaian dengan kondisi ekonomi setempat.
Di sana, biaya bahan baku, ongkos tenaga kerja, dan harga sewa tempat relatif rendah, sementara daya beli masyarakat juga lebih terbatas dibandingkan dengan kota besar.
Keseimbangan antara harga, daya beli, dan struktur biaya inilah yang menjaga keberlangsungan bisnis kopi di daerah.
Kopi Sebagai Gaya Hidup dan Simbol Sosial
Selain soal biaya, gaya hidup dan persepsi sosial juga memengaruhi harga kopi. Di Jakarta, minum kopi bukan sekadar menikmati minuman berkafein, melainkan juga bagian dari lifestyle modern dan simbol status sosial.
“Ketika suatu produk dikaitkan dengan lifestyle dan experience tertentu, produsen bisa menjualnya dengan harga premium,” tutur Wijayanto.
Kopi di kota besar sering kali dihubungkan dengan pengalaman nongkrong di kafe estetik, bekerja di co-working space, atau sekadar citra diri sebagai “anak kota.” Konsumsi kopi pun menjadi bagian dari budaya yang lebih luas, di mana suasana, lokasi, dan brand turut menentukan nilai jual produk.
Sebaliknya, di daerah seperti Wonogiri, kopi masih lebih dekat dengan fungsi aslinya minuman harian untuk menemani aktivitas, bukan simbol gaya hidup.
“Di Wonogiri, mungkin kopi belum sampai pada level gaya hidup seperti di kota besar. Itu juga memengaruhi harga jualnya,” tambah Wijayanto.
Dengan kata lain, harga secangkir kopi tidak hanya mencerminkan biaya bahan atau ongkos tenaga kerja, tetapi juga nilai simbolik dan pengalaman yang dikaitkan dengan produk tersebut.
Ketimpangan Gaya Hidup dan Persepsi Nilai
Fenomena ini memperlihatkan adanya perbedaan nilai sosial dan budaya konsumsi antarwilayah di Indonesia. Di kota besar, konsumen lebih mudah membayar mahal demi mendapatkan “pengalaman minum kopi” yang dianggap berkelas, sementara di daerah, aspek fungsional masih lebih dominan.
Kopi di Jakarta seringkali dilengkapi dengan branding modern, kemasan menarik, serta tempat yang didesain instagramable semuanya membutuhkan biaya tambahan. Sedangkan di daerah, kafe cenderung sederhana, dan pelanggan membeli kopi semata karena ingin minum, bukan untuk menunjukkan identitas sosial.
Dari sinilah lahir perbedaan harga yang signifikan. Nilai ekonomi sebuah produk ternyata tidak selalu berbanding lurus dengan bahan atau kualitasnya, tetapi juga dengan persepsi sosial dan makna budaya yang melekat di dalamnya.
Harga Kopi, Cerminan Ekonomi dan Budaya
Perbedaan harga kopi antara Jakarta dan Wonogiri lebih dari sekadar angka di menu kafe. Ia mencerminkan realitas ekonomi, sosial, dan budaya konsumsi masyarakat Indonesia yang beragam.
Biaya produksi, daya beli, serta gaya hidup menjadi tiga faktor utama yang membentuk harga akhir di tiap daerah. Di kota besar, kopi menjadi bagian dari gaya hidup dan simbol kelas sosial; di daerah, ia tetap berfungsi sebagai minuman rakyat yang mudah dijangkau.
Pada akhirnya, secangkir kopi seharga Rp10.000 di Wonogiri dan Rp100.000 di Jakarta sama-sama punya nilai. Hanya saja, nilai itu tidak sekadar diukur dari harganya, melainkan juga dari konteks tempat, budaya, dan pengalaman yang menyertainya.