JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menyiapkan langkah strategis untuk menjamin ketersediaan bahan bakar minyak (BBM) bagi stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) swasta.
Upaya ini datang menyusul sejumlah kendala pasokan yang sempat dialami beberapa SPBU swasta sepanjang tahun ini, sehingga pemerintah ingin memastikan distribusi energi tetap lancar dan stabil.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM, Laode Sulaiman, menegaskan bahwa pihaknya sedang merancang mekanisme yang tepat untuk mencegah kelangkaan BBM di jaringan SPBU swasta.
“Kita akan siapkan suatu mekanisme yang pas. Sehingga nanti ke depannya kita tidak menghadapi kondisi-kondisi seperti sekarang,” ujar Laode.
Meski belum merinci sistem baru tersebut, Laode menegaskan bahwa badan usaha SPBU swasta telah mengajukan kuota impor BBM untuk tahun 2026, dengan perkiraan volume yang lebih besar dibandingkan tahun ini. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kontinuitas pasokan sekaligus mengantisipasi lonjakan permintaan di masa mendatang.
Sebagai perbandingan, kuota impor BBM tahun 2025 meningkat 10% dibanding 2024, mencapai 776.248 kiloliter (KL). Hingga saat ini, realisasi impor BBM oleh badan usaha swasta telah menyentuh lebih dari 98% kuota, menunjukkan bahwa mekanisme impor yang ada saat ini relatif efektif, meski masih perlu penyempurnaan.
Rincian kuota impor tahun 2025 menunjukkan alokasi signifikan untuk beberapa perusahaan besar. Shell memperoleh kuota 329.704 KL untuk RON 92, 119.601 KL untuk RON 95, dan 38.674 KL untuk RON 98. BP mendapatkan 97.107 KL untuk RON 92 dan 11.863 KL untuk RON 95. Sementara Vivo memiliki kuota 18.642 KL untuk RON 90, 60.857 KL untuk RON 92, dan 7.302 KL untuk RON 95.
Langkah ini menjadi bagian dari strategi pemerintah memastikan keamanan energi nasional sekaligus mendukung kelancaran operasional SPBU swasta yang melayani masyarakat di berbagai daerah. Laode menambahkan, sistem yang tengah digodok ESDM tidak hanya akan menjamin ketersediaan BBM, tetapi juga meminimalkan risiko gangguan distribusi yang sebelumnya sempat menimbulkan ketidakpastian pasokan.
“Kita ingin ada kepastian, sehingga SPBU swasta bisa merencanakan distribusi dan stok BBM lebih baik. Mekanismenya sedang dirancang agar setiap pihak mendapatkan kepastian yang jelas,” ujar Laode.
Ke depan, pemerintah berharap mekanisme baru ini dapat meningkatkan kolaborasi antara Pertamina dan badan usaha swasta, khususnya dalam skema business to business (B2B) yang memungkinkan pengadaan BBM lebih fleksibel dan sesuai kebutuhan pasar. Dengan demikian, risiko kekosongan stok BBM di SPBU swasta dapat diminimalkan, sekaligus menjaga stabilitas harga di tingkat konsumen.
Selain itu, pemerintah juga memantau secara intensif realisasi kuota impor BBM dan efektivitas distribusi di lapangan. Dengan kuota yang lebih besar pada 2026, SPBU swasta diharapkan memiliki ruang lebih luas untuk menyesuaikan stok dengan permintaan lokal. Hal ini dianggap krusial mengingat distribusi BBM tidak hanya terbatas di kota besar, tetapi juga wilayah terpencil yang menjadi tantangan logistik tersendiri.
Sejumlah pihak menilai bahwa upaya ESDM ini juga akan membantu mengurangi ketergantungan SPBU swasta pada pasokan dari satu sumber, sehingga mereka dapat lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan BBM konsumen. Dengan demikian, risiko gangguan operasional yang sempat terjadi sebelumnya dapat diantisipasi lebih awal.
Mekanisme baru yang tengah dirancang diharapkan akan diumumkan secara resmi oleh ESDM dalam beberapa bulan ke depan, lengkap dengan panduan kuota, prosedur B2B, dan sistem koordinasi antara pemerintah, Pertamina, dan badan usaha swasta. Langkah ini dinilai penting agar seluruh pihak memahami hak, kewajiban, dan prosedur operasional secara jelas, sehingga distribusi BBM tetap lancar di seluruh wilayah Indonesia.
Dengan rencana strategis ini, pemerintah menegaskan komitmennya untuk menjaga ketersediaan energi nasional, sekaligus memastikan SPBU swasta dapat beroperasi optimal, mendukung pertumbuhan ekonomi, dan melayani masyarakat tanpa hambatan.