Aturan Risk Sharing Baru Asuransi Kesehatan Berlaku 2026

Senin, 22 September 2025 | 12:36:46 WIB
Aturan Risk Sharing Baru Asuransi Kesehatan Berlaku 2026

JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi menurunkan batas co-payment, yang kini disebut risk sharing, dalam asuransi kesehatan menjadi lima persen dari rencana awal sepuluh persen. 

Kebijakan ini dirancang agar lebih terjangkau bagi masyarakat dan sekaligus memperkuat ekosistem asuransi kesehatan di Indonesia. Target berlaku mulai April 2026, tiga bulan setelah Peraturan OJK (POJK) diterbitkan.

Ketentuan terbaru ini terungkap dalam rapat kerja Komisi XI DPR RI dengan Ketua Dewan Komisioner OJK dan Anggota Dewan Komisioner Bidang Pengawasan Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun pada Kamis, 19 September 2025. 

Draft POJK terbaru menyajikan aturan yang merevisi dan menguatkan Surat Edaran OJK (SEOJK) 7/2025 mengenai Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan, termasuk mekanisme risk sharing antara peserta dan perusahaan asuransi.

Penurunan Batas Risk Sharing Jadi 5 Persen

Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, menyampaikan bahwa sebelumnya peserta asuransi diwajibkan membayar minimal sepuluh persen dari total klaim sesuai SEOJK 7/2025. Dalam draft POJK terbaru, batas ini diturunkan menjadi lima persen.

“Nah, ketentuan mengenai produk pembagian risiko, diatur 5 persen. Yang dulu 10 persen, nah, ini 5 persen,” ujar Ogi. 

Penurunan ini disepakati setelah diskusi bersama pemangku kepentingan, mulai dari asosiasi industri asuransi, pemerintah, hingga fasilitas kesehatan.

Pengecualian berlaku untuk kondisi darurat, termasuk kecelakaan dan penyakit kritis yang tercantum dalam polis, yang akan ditanggung penuh oleh perusahaan asuransi.

Pilihan Produk Asuransi Tanpa Risk Sharing

Ogi menegaskan bahwa perusahaan asuransi wajib menyediakan opsi produk tanpa risk sharing. Nasabah bisa memilih produk sesuai kebutuhan, sehingga tidak terbebani membayar sebagian klaim di awal.

“Minimal itu ada yang wajib dan perusahaan asuransi harus menyediakan premi dengan pembagian risiko dan tanpa pembagian risiko. Pilihan itu dilakukan calon pemegang polis asuransi kesehatan,” jelas Ogi.

Selain itu, kata “co-payment” diganti menjadi risk sharing mengikuti masukan konsumen. Harga premi masing-masing produk harus disampaikan secara transparan agar calon pemegang polis memahami biaya dan manfaat produk.

Pelaksanaan dan Target Efektif

OJK menargetkan skema risk sharing baru berlaku mulai April 2026, tiga bulan setelah POJK diterbitkan. “Pemberlakuan POJK itu tiga bulan sejak diundangkan, kami upayakan POJK diterbitkan paling lambat akhir 2025,” ujar Ogi.

Komisi XI DPR RI mendukung langkah ini. Ketua Komisi XI, Muhammad Misbhakun, menilai penurunan tanggungan peserta penting untuk menjaga keseimbangan antara industri asuransi dan perlindungan masyarakat.

“Ini menurut saya pemikiran yang harus kita dukung, karena menyangkut ekosistem asuransi dan upaya perbaikan layanan kesehatan,” jelas Misbhakun. 

Ia menekankan bahwa meski ada intervensi BPJS Kesehatan, masih ada ruang bagi masyarakat mampu memanfaatkan asuransi swasta secara mandiri, sekaligus meringankan beban APBN.

Peran Fasilitas Kesehatan dan BPJS

Dalam draft POJK, OJK menekankan kolaborasi antara perusahaan asuransi, fasilitas kesehatan, dan BPJS Kesehatan. Perusahaan asuransi perlu meningkatkan kapabilitas digital untuk pertukaran data, akses informasi peserta, dan basis data medis. 

Fasilitas kesehatan wajib menjalankan layanan sesuai clinical pathway dan medical efficacy, serta menyediakan infrastruktur klaim yang memungkinkan pembagian tagihan antara BPJS dan asuransi swasta.

Penerapan risk sharing juga diharapkan mendorong efisiensi, transparansi, serta kualitas layanan kesehatan, sekaligus menjaga keberlanjutan portofolio risiko perusahaan.

Dukungan Industri Asuransi

Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Budi Herawan, menilai penurunan batas kontribusi peserta positif. Mekanisme ini meningkatkan keterjangkauan produk asuransi, dan fleksibilitas opsi produk dengan atau tanpa risk sharing memberi ruang inovasi bagi industri.

“Secara umum, AAUI mendukung penguatan ekosistem asuransi kesehatan, tetapi aturan teknis harus seimbang antara perlindungan konsumen, keberlanjutan bisnis, dan mitigasi risiko moral hazard,” ujar Budi.

AAUI juga menekankan bahwa risk sharing berfungsi mengendalikan moral hazard. Struktur klaim dan risiko perusahaan tetap harus dijaga melalui strategi underwriting, pricing, dan manajemen risiko yang tepat agar keberlanjutan perusahaan dan perlindungan peserta tetap terjaga.

Manfaat bagi Masyarakat

Penurunan batas risk sharing menjadi lima persen memberi manfaat langsung bagi peserta asuransi. Biaya klaim yang lebih ringan membuat produk lebih terjangkau, meningkatkan minat masyarakat untuk memiliki asuransi kesehatan, serta membantu menekan beban pengeluaran pribadi saat membutuhkan layanan medis.

Selain itu, fleksibilitas produk dengan atau tanpa risk sharing memberikan keleluasaan bagi peserta memilih polis sesuai kebutuhan, tanpa membatasi hak mereka atas perlindungan kesehatan.

Dengan menurunkan batas risk sharing menjadi lima persen, OJK berupaya meningkatkan aksesibilitas dan keterjangkauan asuransi kesehatan, sambil menjaga keberlanjutan industri. 

Produk asuransi kini bisa dipilih dengan opsi risk sharing atau tanpa, sementara fasilitas kesehatan dan BPJS mendukung implementasi klaim yang transparan dan efisien.

Kebijakan ini menjadi langkah strategis untuk penguatan ekosistem asuransi kesehatan, diharapkan berlaku mulai April 2026, dan memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat serta industri asuransi.

Terkini

12 Rekomendasi Tempat Kuliner Terbaik di Labuan Bajo

Senin, 22 September 2025 | 16:37:40 WIB

Panduan Lengkap Kuliner Badung Bali: 7 Tempat Makan Terbaik

Senin, 22 September 2025 | 16:37:39 WIB

6 Resep Pie Susu Berbagai Rasa, Camilan Manis Mudah Dibuat

Senin, 22 September 2025 | 16:37:38 WIB

Hasil Drawing Korea Open 2025 dan Daftar Atlet Indonesia

Senin, 22 September 2025 | 16:37:36 WIB