Puto Bumbong, Kue Beras Ungu yang Selalu Hadir dalam Tradisi Natal Filipina

Kamis, 18 Desember 2025 | 10:34:48 WIB
Puto Bumbong, Kue Beras Ungu yang Selalu Hadir dalam Tradisi Natal Filipina

JAKARTA - Bagi masyarakat Filipina, Natal tidak hanya dirayakan dengan dekorasi meriah dan lagu-lagu khas, tetapi juga dengan aroma makanan tradisional yang hadir menjelang fajar. 

Salah satu yang paling mudah dikenali adalah puto bumbong, kudapan berwarna ungu yang hampir selalu muncul di sekitar gereja selama musim Natal. Kehadirannya bukan sekadar pengisi perut, melainkan bagian dari tradisi panjang yang menyatukan ibadah, sejarah, dan kebersamaan.

Menjelang subuh, ketika misa de gallo atau simbang gabi dilangsungkan, penjual puto bumbong mulai menyiapkan dagangan mereka. Uap hangat dari kukusan bambu berpadu dengan udara pagi, menciptakan suasana khas yang hanya bisa ditemui pada bulan Desember. 

Bagi banyak umat, menikmati puto bumbong setelah misa menjadi penutup ritual spiritual sekaligus awal hari yang penuh kehangatan.

Tradisi Natal yang Tak Terpisahkan

Puto bumbong dikenal sebagai salah satu makanan musiman paling ikonik di Filipina. Kudapan ini hampir eksklusif hadir selama periode Natal, khususnya sepanjang rangkaian misa subuh yang berlangsung selama sembilan hari berturut-turut. 

Melansir dari Kids Kiddle, puto bumbong merupakan kue beras kukus khas Filipina yang dimasak menggunakan tabung bambu dan biasanya disantap setelah mengikuti misa pagi hari selama musim Natal.

Warna ungunya yang mencolok membuat puto bumbong mudah dikenali di antara jajanan lainnya. Lebih dari sekadar makanan, hidangan ini telah menjadi simbol kebersamaan, karena sering dinikmati bersama keluarga, teman, atau sesama jemaat. 

Seusai misa, antrean panjang di stan-stan pinggir jalan atau halaman gereja menjadi pemandangan lazim, menandakan betapa kuatnya ikatan antara tradisi keagamaan dan kuliner ini.

Makna Nama dan Cara Penyajian

Nama “puto bumbong” berasal dari bahasa Tagalog. Kata puto berarti kue beras kukus, sementara bumbong atau bombong merujuk pada tabung bambu yang digunakan sebagai cetakan sekaligus alat memasak. 

Dari penamaan tersebut, sudah tergambar jelas metode tradisional yang menjadi ciri khas hidangan ini. Tak jarang, puto bumbong juga disebut sebagai “kue beras kukus dari bambu.”

Dalam praktiknya, ejaan nama hidangan ini dapat bervariasi, salah satunya puto bungbong. Meski berbeda penulisan, makna dan cara penyajiannya tetap sama. Setelah matang, puto bumbong biasanya diletakkan di atas daun pisang, lalu diolesi mentega atau margarin. Sebagai pelengkap, parutan kelapa segar dan gula muscovado ditaburkan di atasnya, menciptakan perpaduan rasa manis, gurih, dan aroma alami yang khas.

Jejak Sejarah dari Masa Kolonial

Mengutip dari Foodtale Philippines, asal-usul puto bumbong dapat ditelusuri hingga awal masa kolonial Spanyol di Filipina. Kudapan berbahan dasar beras ini diyakini dibawa dari Meksiko oleh rombongan ekspedisi Miguel Lopez de Legazpi. 

Pada masa itu, pengaruh budaya dan kuliner dari Amerika Latin mulai menyatu dengan tradisi lokal Filipina.

Dalam konteks keagamaan, masyarakat Filipina pada masa kolonial didorong untuk bangun dini hari guna menghadiri misa. Setelah ibadah selesai, mereka membutuhkan sarapan sederhana untuk mengusir rasa kantuk dan dingin pagi. 

Puto bumbong pun menjadi pilihan yang tepat karena mudah disiapkan, mengenyangkan, dan memberikan rasa hangat. Biasanya, kudapan ini disantap bersama salabat atau minuman jahe hangat yang membantu menghangatkan tubuh.

Proses Pembuatan yang Teliti

Menurut Atlas Obscura, warna ungu khas puto bumbong secara tradisional berasal dari jenis beras ketan khusus bernama pirurutong, yang secara alami berwarna cokelat keunguan. Proses pembuatan puto bumbong tergolong rumit dan membutuhkan ketelatenan. Pirurutong biasanya dicampur dengan beras ketan putih untuk menyeimbangkan tekstur dan rasa.

Campuran beras tersebut kemudian direndam dalam air garam semalaman sebelum digiling hingga halus. Setelah digiling, adonan dikeringkan hingga mencapai tekstur lembap yang tepat. 

Tahap ini sangat penting karena akan memengaruhi hasil akhir kue. Adonan lalu dimasukkan ke dalam bumbong ng kawayan, atau tabung bambu, dan dikukus hingga matang serta berwarna ungu pekat.

Simbol Kehangatan dan Kebersamaan

Seiring waktu, ketersediaan pirurutong yang semakin terbatas membuat sebagian pedagang beralih menggunakan bubuk ubi ungu atau ube sebagai alternatif pewarna alami. Ada pula yang menambahkan pewarna makanan ungu untuk memperkuat warna, meski dianggap kurang autentik oleh para pencinta kuliner tradisional. 

Meski demikian, perubahan bahan ini tidak menghilangkan makna budaya yang melekat pada puto bumbong.

Apa pun bahan yang digunakan, puto bumbong tetap menjadi simbol kehangatan dan keceriaan Natal di Filipina. Kudapan ini bukan hanya soal rasa manis dan tekstur lembut, tetapi juga tentang kenangan, tradisi, dan kebersamaan yang diwariskan dari generasi ke generasi. 

Setiap gigitan puto bumbong seolah membawa cerita tentang pagi Natal, doa, dan kehangatan yang menyatukan banyak orang dalam satu tradisi yang terus hidup hingga kini.

Terkini